Jumat, 05 Juli 2013

Reformasi yang dapat memperbaiki nasib bangsa



 Reformasi yang dapat memperbaiki nasib bangsa dan martabat bangsa

Sejumlah jajak pendapat mengindikasikan semakin merosotnya popularitas Presiden Yudhoyono. Survei terbaru yang dilakukan oleh Lingkaran Survey Indonesia menunjukan bahwa kepercayaan publik atas kemampuan pemerintah menangani kemiskinan dan pengangguran masing-masing hanya 26% dan 22%, dimana lebih dari 50% responden menyatakan Presiden tidak mampu. Sangatlah menarik untuk mencermati bahwa menurunnya popularitas Presiden dan kepercayaan publik terhadap pemerintah ini kemudian dibaca oleh para politisi dan pengamat sebagai isyarat bagi Presiden Yudhoyono untuk melakukan perombakan kabinet secara radikal.

Adalah fakta bahwa memang sejumlah menteri tidak memiliki kinerja yang baik, namun adalah juga fakta bahwa tuntutan perombakan kabinet tidak terlepas dari skenario politik partai-partai besar. Posisi di kabinet, bagaimanapun juga memiliki arti strategis baik secara materil maupun politis dalam menuju kontestasi politik akbar tahun 2009 nanti. Karenanya selayaknya kita membaca kecendrungan hasil jajak pendapat tersebut dalam konteks yang lebih luas. Salah satu persoalan utama bangsa ini adalah kecendrungan untuk keliru mengidentifikasi hal yang substantif dan terjebak dalam perspektif instan. Budaya untuk memecahkan persoalan secara parsial dan temporer nampaknya menjadi arus besar di tengah masyarakat. Memang harus diakui bahwa rakyat membutuhkan keputusan politik yang tegas dan jelas, namun segala keputusan politik tersebut juga harus menyentuh substansi persoalan dan memberikan dampak jangka panjang. Demokratisasi dan perbaikan nasib bangsa secara menyeluruh akan terancam secara serius jika segala permasalahan keluar dari substansinya dan diatasi secara instan, apalagi jika dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan pragmatis-politis.

Substansi dari hasil jajak pendapat jelas bukanlah tuntutan perombakan kabinet, namun meningkatnya ketidakpercayaan publik atas kemampuan pemerintah dalam menjalankan fungsi utamanya untuk mensejahterakan rakyatnya. Berbagai bencana dan skandal yang terjadi akhir-akhir ini jelas mengindikasikan kelemahan mesin birokrasi dalam merespon kebutuhan masyarakat yang bergerak cepat. Karenanya, merosotnya kepercayaan publik terhadap pemerintah semestinya dimaknai dalam perspektif yang lebih luas, yaitu sebagai peringatan keras bagi para politisi dan birokrat.bahwa proses reformasi di Indonesia ternyata belumlah sepenuhnya mengubah karakter birokrasi kita menjadi pelayan publik yang profesional. Demokratisasi akan kehilangan makna jika tanpa diiringi dengan komitmen para politisi dan pemimpin untuk membenahi birokrasi. Sebagian besar enerji para pemimpin dan politisi lebih banyak dicurahkan untuk isu-isu populis ketimbang agenda- agenda strategis jangka panjang. Padahal tidaklah mungkin agenda-agenda populis yang menyangkut kepentingan rakyat banyak dapat diimplementasikan tanpa disokong instrument birokrasi yang efektif.

Pembenahan birokrasi juga harus dipahami sebagai bagian dari proses untuk mengokohkan sistem presidensil. Adalah suatu ironi bahwa disatu sisi para politisi dan pengamat sepakat untuk memperkuat sistem presidensil, namun disisi lain mereka tetap melakukan manuver-manuver politik untuk menggerogoti kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Presiden Bagi para pendukungnya, hal utama yang menjadi kelebihan dari sistem presidensil adalah stabilitas politik karena periode kepemimpinan yang relatif lebih pasti dibanding sistem parlementer. Artinya, desakan untuk bongkar pasang kabinet secara rutin bukanlah karakter utama dari sistem presidensil. Ketika Presiden sebagai pemegang mandat rakyat harus tunduk pada tekanan-tekanan politik partai, maka sesungguhnya sistem presidensil telah kehilangan ciri utamanya.

Birokrasi semestinya tidak terkooptasi oleh jaringan patronase partai politik. Pengkotak-kotakan departemen atas pertimbangan perimbangan kekuasaan cenderung akan menjadikan birokrasi sebagai alat kepentingan politik. Namun demikian secara realitas politik, adalah hal yang mustahil bagi Presiden untuk menutup pintu kabinet secara total bagi politisi partai. Kombinasi antara sistem presidensil dan multipartai yang kini dianut oleh negara kita memang mendorong terjadinya koalisi partai sebagai penyokong pemerintahan. Karena itu, pilihan yang ada mau tidak mau adalah membangun birokrasi dan sistem yang kokoh, sehingga dapat meminimalisir intervensi dari agenda politik partai pada mesin birokrasi. Bahkan di negara-negara parlementer sekalipun dimana jabatan menteri sebagai jabatan politis, frekuensi pergantian menteri yang cukup tinggi tidaklah terlalu berpengaruh pada berjalannya mesin birokrasi karena kekokohan dari sistem birokrasi di tingkat departemen.

Reformasi birokrasi juga akan terkait dengan penataan sistem kepartaian. Pelarangan rangkap jabatan menteri dan pengurus partai mutlak diperlukan untuk mencegah terjadinya penyelewengan kekuasaan. Pejabat birokrasi yang ikut mengurusi partai politik jelas hanya akan menjadi beban dari birokrasi. Mustahil seorang pemimpin partai dapat fokus dalam menjalankan tugas-tugas kementrian tanpa terpengaruh oleh pernak-pernih masalah organisasi partai. Sulit juga membayangkan bahwa organisasi internal partai dapat dibangun secara paruh waktu. Menimbang kompleksitas problem yang ada di setiap partai, hanyalah seorang politisi yang bekerja dalam tingkat konsentrasi yang maksimal yang selayaknya menjadi pemimpin partai. Larangan rangkap jabatan juga akan meminimalisir terjadinya konflik kepentingan dan loyalitas ganda, karena seringkali kalkulasi politis kepentingan partai masing-masing lebih dominan ketimbang agenda politik Presiden sebagai kepala pemerintahan. Selama ini tidak ada aturan yang tegas dan jelas melarang perangkapan jabatan partai dan kementrian. Singkat kata, larangan perangkapan jabatan tidak saja diperlukan dalam konteks pembenahan birokrasi, tetapi juga krusial bagi proses peneguhan sistem presidensil.
Presiden sebagai kepala pemerintahan harus memimpin sendiri reformasi birokrasi secara substantif. Presiden harus berani mengambil langkah-langkah strategis yang tidak populer tetapi secara jangka panjang amatlah penting. Henry Kissinger, menteri luar negeri Amerika paling legendaris mengatakan bahwa tugas para politisi dan birokrat adalah membangun sistem yang dapat secara efektif menghadapi berbagai masalah dengan prosedur standar yang relevan dan solutif.

1. Apa arti dan makna Reformasi yang diharapkan

12 tahun sudah perstiwa 12 Mei 98 berlalu. Tapi tetap saja kenangan dan kejadian-kejadiannya masih melekat di kepala kita semua. Sebuah peristiwa yang cukup menggoncang keras tanah air kita tercinta. Sebuah peristiwa yang cukup menarik perhatian dunia. Sebuah peristiwa yang akhirnya hanya membuahkan satu kata yang sangat terkenal yaitu REFORMASI.

Arti reformasi gerakan moral yang bertujuan untuk menata perikehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berda-sarkan Pancasila, serta mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Makna reformasi adalah yang paling mulia, bukan keadilan atau kemakmuran masyarakat, tetapi bahwa masyarakat menjadi makin baik. keadilan dan kemakmuran sangat penting. Tetapi lebih penting lagi adalah struktur sosial, budaya, ekonomi, hukum dan politik yang menguntungkan perilaku yang baik dan merugikan perilaku yang jelek. Menurut pandangan saya, orang Indonesia sudah mempunyai masyarakat yang baik di antara yang paling baik di dunia.

2. Apa yang harus kita perbuat dalam membangun bangsa dan negara menuju tujuan nasional

Untuk mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia, kita harus mampu menumbuhkan rasa kebangsaan dan menumbuhkan paham kebangsaan atau nasionalisme yaitu cita – cita atau pemikiran –pemikiran bangsa dengan karakteristik yang berbeda dengan bangsa lain (jati diri). Paham kebangsaan Indonesia ialah Pancasila. Pancasila sebagai pandangan hidup, faslafah hidup bangsa, kemudian menjadi dasar negara dan sekaligus ideologi negara. Rasa kebangsaan dan paham kebangsaan melahirkan semangat kebangsaan yaitu semangat untuk mempertahankan eksistensi bangsa dan semangat untuk menjungjung tinggi martabat bangsa.
Bangsa Indonesia sekarang ini sebagian besar terdiri dari generasi muda yang tidak mengalami masa ”perang kemerdekaan”. Rasa kebangsaan generasi muda bisa berbeda disebabkan mereka tidak mengalami kekejaman masa kolonialisme masa lalu. Rasa kebangsaan mereka tumbuh dari faktor pendukung lainnya yang dialami secara langsung dalam berbagai bidang kehidupan.
Tantangan yang kita hadapi dewasa ini adalah mensejajarkan diri dengan bangsa – bangsa yang telah maju. Namun paham kebangsaan Indonesia sebagai jati diri bangsa harus dibela secara gigih, dipertahankan, diperjuangkan dan direalisasikan secara murni dan konsekuen oleh setiap generasi bangsa.

3. dalam mengeluarkan pendapat apakah batas-batas yang harus dijaga, supaya tidak mengganggu stabilitas nasianal

Ya, karena setiap manusia pasti mempunyai hak dan kewajiban dalam mengeluarkan pendapat apalagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara semua itu sudah tertera jelas dalam UUd 1945 jadi kita sebagai warga Negara yang baik haruslah mentaati peraturan yang ada.

Seandainya tidak ada batasan maka yang terjadi adalah perpecahan antara warga Negara karena tidak saling menghargai sesama lain ,sedangkan kita hidup berbangsa harus saling menghargai dan tidak boleh ada bangsa yang merasa dirugikan apa lagi merasa di pinggirkan oleh bangsa lain.

4. Faktor faktor apakah yang mendorong terjadinya gejolak seperti sekarang ini

Faktor Penghambat

Dengan demikian, faktor sosiologis kultural dan struktural merupakan penghambat penting dalam integrasi nasional di masyarakat yang sangat plural seperti Indonesia. Sebenarnya kondisi itu bukannya tidak dipahami oleh para pemimpin Indonesia. Mereka sebenarnya telah memberikan perhatian terhadap upaya menjembatani kesenjangan multidimensi yang terjadi di masyarakat. Di antaranya dengan mengakomodasi aspirasi masing-masing kelompok yang berbeda ini, terutama di daerah yang memiliki potensi mengalami disintegrasi seperti Papua dan Aceh, dengan memberi otonomi khusus.

Sebagian upaya sebenarnya sudah lumayan berhasil. Tetapi kemudian mencuat menjadi gejolak ke permukaan karena faktor kekuatan asing. Di Papua fakta peran Amerika Serikat dalam mendorong ketidakstabilan provinsi itu hampir tak bisa ditutupi, yang secara terbuka melakukan intervensi seperti kunjungan anggota Kongres AS pertengahan Juli ini yang mengungkit masalah Papua. AS jelas memiliki kepentingan agar bisa mengeruk kekayaan Papua. Demikian pula dalam kasus bendera RMS baru-baru ini di Ambon, faktor kekuatan asing atau Belanda banyak disebut terlibat.

Dengan persoalan seperti itu maka lengkap sudah kompleksitas ancaman disintegrasi nasional di Indonesia. Ini bukan berarti kemudian tidak bisa dipecahkan sama sekali. Upaya mengatasinya, menurut Weiner, memerlukan kebijakan yang lebih sistematis untuk mengintegrasikan masyarakat kepada satu negara nasional. Integrasi adalah proses sosiologis yang tidak bisa dilakukan dan ditempuh dalam waktu singkat. Hal ini memerlukan proses pembudayaan dan konsensus sosial politik diantara suku bangsa (etnik) di Indonesia. Kalau kita menggunakan pendekatan konflik sebagaimana diilustrasikan oleh Lewis C Coser dan George Simell, maka kerangka masyarakat yang akan kita dapatkan adalah integrasi yang selalu berada dalam bayang-ba- yang konflik antaretnik berkepanjangan.

Kalau kita mengikuti pandangan penganut fungsional struktural dari Auguste Comte, melalui Durkheim sampai dengan Parsons, maka yang akan menjadi faktor mengintegrasikan masyarakat Indonesia tentulah sebuah nilai umum tentang kesepakatan bersama antarmasyarakat.

Nilai-nilai umum tertentu yang disepakati secara bersama itu tidak hanya disepakati oleh sebagian besar orang (etnik), namun harus dihayati melalui proses sosialisasi, akulturasi, asimilasi, dan enkulturasi. Proses ini pernah dibuktikan oleh kesepakatan bersama dalam Sumpah Pemuda yang menghasilkan nasionalisme dan menyatukan rakyat Indonesia secara sosial dan politik. Mengikuti pemikiran R William Liddle, konsensus nasional yang mengintegrasikan masyarakat yang pluralistik pada hakekatnya mempunyai dua tingkatan sebagai prasyarat bagi tumbuhnya suatu integrasi nasional yang tangguh.

Pertama, sebagian besar anggota suku bangsa bersepakat tentang batas-batas teritorial dari negara sebagai suatu kehidupan politik dalam mana mereka sebagai warganya. Kedua, apabila sebagian besar anggota masyarakatnya bersepakat mengenai struktur pemerintahan dan aturan-aturan dari proses politik yang berlaku bagi seluruh masyarakat di atas wilayah negara yang bersangkutan.

5. Bagaimana pendapat anda Kebebasan berbicara yang terjadi akhir akhir ini dari sudut pandang etika,dan bagaimana semestinya?

Di akhir akhir ini banyak orang yang mengeluarkan pendapat itu asal saja tanpa memikirkan sebab yang akan terjadi , seperti para pejabat Negara yang saling menjatuhkan dan menjelekan fraksi yang lain begitu juga yang terjadi dalam persaingan partai politik yang kian menjamur yang semuanya hanya mementingkan kepentingan golongan daripada mementingkan kepentingan masyarakat banyak.

Mestinya kita harus lah saling menghormati dan menghargai orang lain agar kita juga di hargai orang ,tidak perlu ada yang saling menghancurkan pendapat orang lain sebaiknya kita intropeksi diri sendiri sebelum mengkritik pendapat orang lain. Karena dengan ini kita dapat mewujudkan Indonesia yang maju tanpa ada saling menjatuhkan.

http://muhammadfathan.wordpress.com/2011/03/21/reformasi-yang-dapat-memperbaiki-nasib-bangsa/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar